SKEMA PHASE OUT KENDARAAN INTERNAL COMBUSTION ENGINE MENUJU BATTERY ELECTRIC VEHICLE

Kendaraan listrik (Electric Vehicle) (EV) telah lama menjadi salah satu terobosan dalam menghadapi perubahan iklim global. Hal ini telah menjadi perhatian dunia khususnya pada KTT G20 2022 di Bali. Salah satu bentuk kebijakan Pemerintah yaitu dengan terbitnya Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Penggunaan Kendaraan Listrik[1] dan Inpres No.7 Tahun 2022 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) (KBLBB) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam rangka percepatan implementasi kendaraan listrik di Indonesia, maka Pemerintah telah menargetkan produksi kendaraan KBLBB sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi, Peta Jalan Pengembangan, dan Ketentuan Perhitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri KBLBB dengan target 400.000 roda empat dan 1,76 juta roda dua pada tahun 2025 dan target 600.000 roda empat serta 2,45 juta roda dua pada tahun 2030.

Saat ini penggunaan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak masih dominan, dengan jumlah kepemilikan sebesar 152 juta unit yang terdiri dari 126 juta sepeda motor, 19 juta mobil penumpang dan sisanya kendaraan barang.


Permasalahan

Berdasarkan data dari paparan Kemenkomarves, pada tahun 2010 hingga 2019 didapatkan sebuah tren peningkatan GDP sebesar ± 5% per tahun di Indonesia. Selain itu pada tahun yang sama, peningkatan jumlah kendaraan listrik di Indonesia mencapai ± 8% per tahun. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara peningkatan GDP dan kemampuan masyarakat untuk terus membeli kendaraan baru. 

Kemenkomarves kemudian memproyeksikan kebutuhan kendaraan EV untuk roda 4 sebanyak 2 juta unit dan roda 2 sebanyak 26 juta unit pada tahun 2030.

Dari kedua data Kemenkomarves tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah kendaraan di Indonesia akan meningkat, terutama untuk kendaraan listrik Hal ini cukup mengkhawatirkan dari segi transportasi khususnya di Indonesia dimana jumlah kendaraan pribadi ditargetkan untuk mencapai nilai tertentu dimana infrastruktur transportasi kita saat ini masih butuh banyak pembenahan. 

Salah satu permasalahan utama yang dikhawatirkan muncul dari kebijakan kendaraan listrik ini adalah kemacetan terutama di daerah perkotaan. Mengambil contoh dari Kota Jakarta pada tahun 2019 (sebelum pandemi), congestion level di Jakarta mencapai 53% yang artinya pengendara harus menempuh waktu 53% lebih lama dari desain awal perjalanan pada rute yang diambil. Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada aktivitas masyarakat dan pelambatan perekonomian. Selain itu kemacetan juga akan berdampak pada inefisiensi pengoperasian kendaraan baik kendaraan berbahan bakar fosil ataupun kendaraan listrik. Bila ini terjadi, maka tujuan awal untuk memperbaiki iklim dunia tidak akan berjalan efektif dan pada akhirnya kebijakan ini akan menjadi kontraproduktif. 

Selain itu bila membandingkan pola masa pakai kendaraan di Indonesia dengan beberapa negara lain, dapat dilihat bahwa rata-rata penduduk mengganti kendaraan dalam 5 tahun di Indonesia, lebih dari 2 kali lebih cepat dari Amerika Serikat yang mengganti kendaraan setiap 11,5 tahun sekali. Dengan asumsi ini, pergantian kendaraan yang cukup cepat ini maka peralihan menuju kendaraan listrik dapat diprediksi mulus. 

Namun jumlah kendaraan di Indonesia tidak dijaga pada jumlah yang konstan. Kita dapat melihat perbandingan dengan Amerika Serikat terkait penanggulangan kendaraan bekas. Di Amerika Serikat terdapat banyak fasilitas scrapyard yang umum digunakan untuk menghancurkan kendaraan yang sudah tidak laik jalan agar diolah menjadi besi tua untuk keperluan berikutnya. 

Sedangkan di Indonesia fasilitas scrapyard sangat minim ditemukan yang khusus untuk menghancurkan kendaraan-kendaraan. Hal ini kemudian menjadikan kendaraan bekas untuk terus disirkulasikan (utamanya melalui dealer atau showroom kendaraan bekas) melebihi kondisi laik jalannya yang pada akhirnya akan menambah jumlah kemacetan di jalan dan berujung pada kemacetan serta polusi yang meningkat. 

Analisis 

Tentunya kita tidak boleh menafikan manfaat kendaraan listrik ini. Diambil dari studi Pusjaka tahun lalu, dapat kita lihat bahwa peralihan kendaraan berbahan bakar fosil ke BBM dapat mengurangi emisi bus Transjakarta sebesar 149.077-ton CO2/tahun. Ini hanya dari Bus Transjakarta saja, bandingkan jika keseluruhan kendaraan di Indonesia bisa di alihkan.

Namun untuk melihat permasalahan penanggulangan iklim serta memahami tindak lanjut yang tepat terkait PP 55 Tahun 2019.

1. Pemerintah mengeluarkan PP 55 tahun 2019 untuk mengendalikan polusiserta mengurangi beban impor & subsidi BBM

2. Apa yang menyebabkan polusi dan konsumsi BBM ini? Apakah karena kita kekurangan mobil listrik? Bukan, ini karena kita kelebihan kendaraan berbahan bakar fosil. Jadi fokus kita yang utama adalah mengurangi penggunaan kendaraan bahan bakar fosil, ini sudah tertuang pada pasal 16 PP 55 Tahun 2019.

3. Lalu bagaimana opsi untuk mengurangi kendaraan internal combustion engine ini? Pertama bisa dengan menggantinya dengan kendaraan listrik bagi yang mampu

4. Bila tidak mampu membeli kendaraan listrik yang kita tahu harganya masih sangat tinggi, bisa menggunakan kendaraan umum. Sehingga kita jangan membalikkan prioritas penanggulangan, fokusnya tetap pada pengurangan kendaraan fosil lalu untuk mengakomodasi masyarakat, kita berikan kebijakan peralihan ke kendaraan listrik

Saat ini kita perlu mengapresiasi usaha-usaha Pemerintah dalam mendukung transportasi umum di dalam negeri. Seperti contohnya Transjakarta yang menargetkan 10 ribu bus pada tahun 2030 dimana 83% diantaranya ditenagai oleh listrik. Disini bisa kita lihat arah kebijakan yang win-win solution. Mendukung target elektrifikasi serta menyediakan alternatif transportasi dari kendaraan fosil.

Lalu bagaimana strategi kita untuk menarik kendaraan ICE ini? Kita sudah mengetahui bahwa untuk mendukung elektrifikasi kendaraan listrik dibutuhkan 4 komponen ekosistem yaitu:

1. Industri mobil listrik

2. Fasilitas charging station

3. Industri baterai

4. Industri daur ulang baterai

Tapi menurut saya kita juga membutuhkan industri scrapyard kendaraan bekas seperti layaknya di Amerika Serikat. Pada tahun 2060 seluruh kendaraan di Indonesia sudah full electric saat itu diharapkan infrastruktur maupun teknologi sudah mapan untuk mendukung. Dan pada tahun 2030 seluruh industri otomotif utama sudah berkomitmen untuk hanya menjual kendaraan listrik secara eksklusif.

Tentunya pada tahun 2030 sudah ada Sebagian porsi kendaraan listrik di jalan dan Sebagian kendaraan ICE. Namun juga terdapat kendaraan tidak laik jalan. Tujuan kita disini adalah bagaimana menarik kendaraan tidak laik jalan ini dari peredaran. Jangan sampai masyarakat terus membeli kendaraan listrik dan menambah jumlah kendaraan melebihi kapasitas infrastruktur kita.

Disini kita bisa mengusulkan 2 hal yang pertama adalah:

1. Memberikan keringanan skema cicilan ataupun proses tukar tambah terhadap kendaraan ICE ini

2. Mendorong industri daur ulang kendaraan bekas di dalam negeri, sehingga kita bisa menjamin jumlah kendaraan yang beredar optimal


Rekomendasi Kebijakan

1. Membuat kebijakan yang berfokus pada penarikan kendaraan berbahan bakar fosil daripada kemudahan memperoleh kendaraan elektrik

2. Mendorong terbentuknya industri pengolahan mobil tua atau industri scrapyard 

3. Menggencarkan kembali promosi penggunaan transportasi umum baik melalui insentif kebijakan maupun sosialisasi masyarakat

(Penulis: Yos Rabung-Analis Kebijakan Pertama, Badan Kebijakan Transportasi)



Komentar

Tulis Komentar