Sesuai dengan amanat UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pemerintah bertanggung jawab dalam penyelenggaaan angkutan umum yang selamat, aman, nyaman dan terjangkau. Sejak tahun 2020 pemerintah telah meluncurkan layanan angkutan perkotaan dengan skema pembelian layanan (Buy The Service/BTS). BTS merupakan wujud kehadiran pemerintah dalam memberikan subsidi pelayanan transportasi publik. Skema ini merupakan pengembangan dari program sebelumnya, yaitu Bus Rapid Transit (BRT).
Skema Buy The Service atau BTS untuk angkutan massal perkotaan adalah mekanisme pembelian layanan angkutan massal oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, kepada operator dengan mekanisme lelang berdasarkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) atau Quality Licensing yang memenuhi aspek kenyamanan, keamanan, keselamatan, keterjangkauan, kesetaraan serta memenuhi aspek kesehatan. Pemberian subsidi ini tertuang dalam Permenhub No PM 9 Tahun 2020 tentang pemberian subsidi angkutan penumpang umum perkotaan.
Dengan skema ini, tarif angkutan umum perkotaan menjadi gratis karena telah disubsidi oleh pemerintah. Skema ini juga diharapkan agar pelayanan angkutan massal menjadi lebih baik karena pihak operator tidak harus ugal-ugalan untuk mengejar setoran agar bisa menutupi biaya operasional karena telah disubsidi. Selain itu, dengan menggratiskan biaya layanan diharapkan dapat menarik minat masyarakat untuk berpindah dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Hingga tahun 2022, layanan BTS telah hadir di 10 kota di Indonesia, yakni Medan, Surakarta, Denpasar, Yogyakarta, Palembang, Kota Bandung, Surabaya, Makassar, Banjarmasin, dan Banyumas.
Evaluasi Implementasi BTS
Badan Kebijakan Transportasi (BKT) melalui Pusat Kebijakan Lalu Lintas, Angkutan dan Transportasi Perkotaan melakukan evaluasi penyelenggaraan program BTS di 4 (empat) kota yaitu Makassar, Yogyakarta, Banyumas dan Palembang. Tim Analis Kebijakan BKT memberikan rekomendasi alternatif pemecahan masalah terkait program BST agar lebih optimal dengan melihat dari aspek teknis, ekonomi, sosial maupun kebijakan-kebijakan pendukungnya.
Dari hasil analisis didapatkan tim Analis Kebijakan menyusun penentuan kriteria kota penerima subsidi dengan skema BTS sebagai berikut:
Dari beberapa kendala yang ditemui tim analis di lapangan terhadap penyelenggaraan BTS, maka disusun beberapa alternatif kebijakan sebagai alternatif pemecahan masalah. Pertama, kebijakan evaluasi penentuan kriteria dalam pemilihan kota penerima subsidi BTS, yaitu mendorong agar meninjau ulang PM 9 Tahun 2020 tentang pemberian subsidi angkutan penumpang umum perkotaan dalam hal penentuan kriteria pemilihan kota penerima subsidi BTS, yang tidak hanya mempertimbangkan pemilihan ukuran kota atau aglomerasi/kawasan, akan tetapi perlu juga mempertimbangkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.
Kedua, kebijakan percepatan penetapan tarif untuk keberlanjutan program BTS, yaitu mendorong untuk memformulasikan besaran tarif berdasarkan BOK yang disesuaikan dengan kondisi kemampuan daerah (APBD dan UMR) berdasarkan usulan dari kepala daerah. Dalam penerapan tarif, pemerintah daerah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak menimbulkan gejolak sosial.
Ketiga, kebijakan penentuan model bisnis transisi untuk keberlanjutan program BTS, yaitu mendorong agar melakukan reformasi institusi, seperti membentuk badan pengatur angkutan umum, yang independen; menyediakan pelayanan angkutan umum, melalui operator; mengumpulkan pendapatan dari angkutan umum/transportasi, melalui pihak ketiga; membayar layanan yang diberikan operator, sehingga pemerintah daerah dapat melakukan pull strategy dan tidak bergantung kepada pemerintah pusat
Keempat, kebijakan peningkatan peran pemda dalam mendukung keberhasilan program BTS, yaitu pemerintah daerah mendorong agar menjaga 40 konsistensi pelaksanaan push strategy berupa manajemen dan rekayasa lalu lintas, penerapan tarif parkir progressif, penerapan ganjil genap, penyediaan fasilitas park and ride, penyediaan feeder, penyelesaian masalah sosial, dan sosialisasi. Pelaksanaan komitmen ini berupa monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara periodik.
Kelima, alternatif kebijakan pembangunan halte dan pengadaan bus stop. Berdasarkan temuan di lapangan tidak semua titik pemberhentian dilengkapi dengan halte/bus stop, oleh karena itu pembangunan halte dan rambu bus stop perlu segera dilaksanakan, yang merupakan tugas dari pemerintah daerah atau pemerintah pusat, tergantung status jalan.
Keenam, kebijakan Operasional BTS untuk Meningkatkan Kinerja Pelayanan Angkutan BTS, dalam penerapan pengoperasian BTS yang menjadi dasar pertimbangan adalah demand, sehingga dalam penetapan rute/koridor yang akan dilalui oleh BTS dapat secara efektif disesuaikan dengan permintaan terutama yang potensial, adanya pengalihan (shifting) dari pengguna kendaraan pribadi menjadi menggunakan angkutan umum/BTS.
Penetapan rute, trayek, dan lokasi halte berdasarkan survei asal tujuan perjalanan, sehingga jadwal dan frekuensi bus dapat dihitung. Berdasarkan temuan di lapangan perlu dilakukan segera perbaikan terkait IT, seperti APC (automated passanger counter) sensor penghitung penumpang, tapping machine, penggunaan provider GSM yang kuat.
Penerapan program BTS ini dicanangkan oleh Kementerian Perhubungan untuk dapat diterapkan di seluruh wilayah Indonesia, terutama yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan, yaitu memiliki penduduk yang besar namun belum terlayani oleh angkutan umum atau pelayanan angkutan umum yang sudah ada belum berjalan secara maksimal. Diperlukan kesamaan pemahamanan dari pemerintah daerah, operator, dan stakeholder transportasi lainnya untuk penerapan skema BTS ini.