MARKA ZONA BERBAHAYA SEBAGAI UPAYA TINGKATKAN KESELAMATAN LALU LINTAS

Kasus kecelakaan menjadi salah satu penyebab kematian yang cukup tinggi. Menurut catatan World Health Organizations (WHO) kecelakaan di jalan raya menempati jumlah kematian tertinggi dari kategori penyakit tidak menular. Dalam Global Status Report on Road Safety 2015 yang dirilis WHO tercatat sekitar 1,25 juta orang meninggal karena kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya. Data Korlantas Polri menyebutkan jumlah kecelakaan lalu lintas darat di Indonesia mencapai 103.645 kasus pada tahun 2021. Rata-rata terdapat tiga orang meninggal setiap jam akibat kecelakaan di jalan.

Berdasarkan data KNKT sepanjang tahun 2017 sampai dengan 2021 dari 58 kejadian kecelakaan lalu lintas yang diinvestigasi, tercatat 37 kecelakaan atau sekitar 63,8% karena faktor manusia, salah satunya karena kurang waspada dan tidak mengenali medan jalan. Selain itu, faktor lainnya disebabkan oleh kondisi jalan dan lingkungan yang rawan kecelakaan, tidak berkeselamatan, dan membahayakan. Untuk dapat terhindar dari kecelakaan dari faktor jalan dan lingkungan tersebut, setiap pengemudi harus waspada terhadap karakteristik jalan dan lingkungan yang akan dilewatinya, sekaligus dapat melakukan langkah antisipasi jika menemui kondisi bahaya secara mendadak.

Rambu Zona Berbahaya

Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas jalan, salah satunya adalah pemasangan Red Zone Marking (marka zona berbahaya) atau red spot. Uji coba pemasangan marka zona berbahaya merupakan inisiatif untuk meningkatkan awareness pengguna jalan terhadap kondisi jalan yang berbahaya didasarkan pada Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor KP-DRJD 4082 Tahun 2021 tentang Uji Coba Pemasangan Marka Zona Berbahaya.

Kemenhub bersama Jasa Raharja telah melakukan pemasangan rambu zona berbahaya di beberapa lokasi rawan kecelakaan, seperti di Wonosobo, Bumiayu Brebes, Lampung (rencana) dan Lombok. Marka jalan dipasang di badan jalan dengan bentuk menyerupai rambu zona sekolah. Namun, setiap marka zona berbahaya dilengkapi aturan batas kecepatan maksimal berkendara.

Dengan adanya marka tersebut diharapkan dapat sebagai penanda lokasi rawan kecelakaan (blackspot) dan jalan yang tidak berkeselamatan, meningkatkan kewaspadaan pengguna jalan, dan sebagai langkah preventif untuk memberikan peringatan kepada pengguna jalan terhadap lokasi rawan kecelakaan.

Badan Kebijakan Transportasi (BKT) melalui Pusat Kebijakan Lalu Lintas, Angkutan dan Transportasi Perkotaan melakukan analisis terhadap uji coba pemasangan marka zona berbahaya. Berdasarkan hasil analisis disebutkan bahwa kategori lokasi penerapan marka zona berbahaya ditetapkan berdasarkan 2 (dua) sudut pandang atau terminologi lokasi yang berbahaya yaitu lokasi rawan kecelakaan (blackspot) dan jalan sub standar (tidak berkeselamatan).

Namun, tidak semua jalan dalam kategori lokasi rawan kecelakaan (blackspot) maupun jalan sub-standar (tidak berkeselamatan) harus dipasang marka zona berbahaya. Terdapat beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan dalam penerapan marka zona berbahaya agar dapat berfungsi secara optimal dan efisien, diantaranya adalah kriteria berdasarkan kategori lokasi, kondisi permukaan jalan, kinerja lalu lintas, jalan perkotaan dan dan jalan antar kota, serta jenis hazard.

Tim Analis Kebijakan BKT telah melakukan evaluasi dari uji coba pemasangan marka zona berbahaya di Wonosobo, Brebes, Lombok Tengah serta rencana pemasangan marka zona berbahaya di Bandar Lampung. Adapun hasil rekomendasinya antara lain:

1. Aturan mengenai desain dan spesifikasi teknis dari marka zona berbahaya perlu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perhubungan dan/atau Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat, atau dengan melakukan amandemen pada peraturan yang sudah ada dengan menambahkan spesifikasi teknis dari marka zona berbahaya.

2. Penerapan marka zona berbahaya perlu dikombinasikan dengan perlengkapan jalan lainnya baik yang terpasang pada badan jalan (marka pengurang kecepatan seperti rumble strip, chevron marking, speed bar, dragon teeth) maupun di tepi jalan seperti rambu tambahan serta perlengkapan jalan pendukung yang diperlukan disesuaikan dengan kondisi lokasi rawan kecelakaan tersebut (rambu batas kecepatan, papan peringatan, dan lain sebagainya).

3. Penerapan marka zona berbahaya perlu ditambah dengan alat penerangan jalan khususnya bagi lokasi yang minim cahaya pada malam hari. Perpaduan antara marka yang reflektif dengan adanya dukungan cahaya dari alat penerangan jalan akan membuat marka zona berbahaya lebih dapat dilihat oleh pengemudi terutama pada malam hari.

4. Bahan yang akan digunakan pada marka zona berbahaya harus sesuai dengan standar marka jalan yang berlaku yaitu dengan menggunakan bahan yang dapat memantulkan cahaya/reflektif.

5. Dalam hal penetapan urutan prioritas penerapan marka zona berbahaya berdasarkan kategori lokasi, maka prioritas utama yang perlu dipasang marka zona berbahaya adalah lokasi dengan jumlah kecelakaan tertinggi terlebih dahulu, dalam hal ini adalah blackspot. Semakin tinggi angka kecelakaan, semakin diprioritaskan untuk dipasang marka zona berbahaya. Sementara untuk jalan yang tidak berkeselamatan, jika memang pada jalan tersebut memiliki LHR sangat rendah dan tidak pernah terjadi kecelakaan, maka dapat menjadi prioritas terakhir.

6. Kategori dan kriteria telah disusun dalam laporan analisis kebijakan, untuk selanjutnya direktorat teknis agar dapat merumuskan parameternya berdasarkan hasil uji efektivitas.

7. Penerapan marka zona berbahaya memerlukan peran, koordinasi serta sinergisitas dari berbagai stakeholder untuk dapat menjaga keberlanjutan (sustainability) dari marka tersebut, baik secara horizontal antar instansi Kementerian/Lembaga maupun secara vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kewenangan penerapan dan pengelolaan marka zona berbahaya dapat dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangan / status jalan.

8. Masa berlaku uji coba pemasangan marka zona berbahaya perlu diperpanjang untuk dapat dilakukan uji efektivitas marka zona berbahaya oleh lembaga riset atau perguruan tinggi yang berwenang melakukan penelitian maupun uji efektivitas.

9. Dengan adanya perkembangan tekonologi kendaraan otonom, perlu dipertimbangkan terkait dengan spesifikasi marka zona berbahaya agar dapat dibaca oleh sensor kendaraan otonom. Hal ini perlu dikomunikasikan dengan produsen kendaraan otonom.

Komentar

Tulis Komentar