Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pemerintah memiliki peran sebagai pembina penerbangan meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan penerbangan. Salah satu arah pembinaan pemerintah yaitu memenuhi perlindungan lingkungan dengan upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang diakibatkan dari kegiatan angkutan udara dan kebandarudaraan, dan pencegahan perubahan iklim, serta keselamatan dan keamanan penerbangan.
Pergerakan burung di area bandara (bird hazard) ataupun hewan lain yang masuk area bandara sangat mempengaruhi aspek keselamatan pengoperasian pesawat udara. Dampak yang ditimbulkan yaitu meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan pesawat udara pada fase initial climb, pendekatan dan pendaratan. Keberadaan hewan di area bandara juga meningkatkan potensi bird strike ataupun hewan yang masuk ke dalam mesin pesawat udara. Contoh insiden pergerakan satwa liar yang berpotensi mengganggu keselamatan penerbangan di Indonesia yaitu insiden burung menabrak nose cone pesawat Boeing 737-800 milik Lion Air pada tanggal 10 Juni 2017 di Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya.
Keberadaan Satwa Liar terutama burung di dalam bandara beresiko terhadap keselamatan penerbangan. Pada tahun 2017 s.d. 2022 tercatat 167 laporan kejadian bird strike dan 31 bird hazard. Dari kejadian bird strike tersebut, hanya beberapa kejadian yang dapat diidentifikasi jenis burungnya. Padahal jumlah data jenis burung yang mengalami kejadian bird strike sangat diperlukan untuk upaya mitigasi wildlife hazard di setiap bandara. Kawasan hutan di sekitar bandara dapat menyediakan daya tarik yang kuat bagi satwa liar yang berpotensi membahayakan penerbangan. Namun dalam beberapa kasus, terutama pada kawasan hutan lindung atau konservasi, area ini menjadi kawasan yang bagus untuk habitat berbagai satwa liar. Dengan demikian, pengelola bandara harus dapat membangun hubungan yang kuat dengan pengelola hutan. Bandara juga secara tidak langsung telah menyediakan sumber air bagi satwa liar dalam bentuk kolam buatan (artificial basin). Sumber air, yang selanjutnya bisa disebut sebagai habitat akuatik, berhubungan erat dengan dengan berbagai spesies satwa liar yang berbahaya bagi keselamatan penerbangan.
Keselamatan dan keamanan penerbangan di dalam bandara merupakan tanggung jawab Kementerian Perhubungan. Prosedur penanggulangan satwa liar di dalam area bandara untuk menjaga keselamatan dan keamanan penerbangan telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 83 Tahun 2017 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 139 tentang Bandar Udara (Aerodrome). Peraturan ini diperinci kembali dalam Keputusan Dirjen Perhubungan Udara Nomor KP 262 Tahun 2017 tentang Standar Teknis dan Operasi Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 139 Volume 1 Bandar Udara (Aerodrome). Selain itu terdapat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bertanggungjawab atas kebijakan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya di Indonesia.
Secara dikotomi, pengelolaan ekosistem bandara untuk penanggulangan satwa liar dapat dibagi menjadi di dalam bandara oleh penyelenggara bandara dan di luar bandara oleh Pemda (pemda) dan/atau instansi terkait. Di dalam bandara, pengelolaan satwa liar mengacu pada International Civil Aviation Organization (ICAO) melalui ICAO Annex 14, document 9137, part 3 tentang Wildlife Control and Reduction, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 83 Tahun 2017 dan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/42/III/2010. Sedangkan dalam konteks kebijakan pengelolaan ekosistem bandara di luar bandara dilihat dari penanganan bahaya satwa liar pada ekosistem di sekitar bandara. Kebijakan Pemda yang dapat ditinjau di antaranya adalah rencana tata ruang wilayah (RTRW) maupun produk hukum daerah lainnya yang relevan dengan penanggulangan bahaya satwa liar.
Dengan demikian, dapat disampaikan bahwa Pengelolaan habitat memerlukan upaya jangka panjang dengan harmonisasi kebijakan di tingkat nasional yang dapat menjadi acuan di daerah menjadi salah satu kunci. Harmonisasi kebijakan tersebut harus mempertimbangkan pengelolaan habitat satwa liar yang berpotensi mengganggu keselamatan penerbangan. Karakteristik pengelolaan habitat pada setiap bandara akan berbeda karena spesies satwa liar juga akan bervariasi. Diharapkan pengelolaan wildlife strikes menjadi bagian tersendiri pada beban kerja suatu bandara. Pengelola pun dapat menerapkan konsep zona penyangga (3 km dari perimeter luar bandara) terkait bahaya satwa liar. Konsep zona penyangga berkaitan erat dengan melibatkan stakeholder lain, baik Pemda, unit pelaksana teknis dari pemerintah pusat, dan perusahaan pemerintah/swasta. Selain itu, Harmonisasi kebijakan juga perlu diterbitkan melalui pembentukan Peraturan Presiden, yang dapat mengkoordinasikan Kemenhub, KLHK, Kementerian ATR/BPN dan Kemendagri yang meliputi namun tidak terbatas pada upaya harmonisasi kebijakan penanggulangan bahaya satwa liar, koordinasi lintas sektor dan level pemerintahan dengan penyelenggara bandara, dan mendorong kepatuhan dan kapasitas penyelenggara bandara terhadap kewajiban penanggulangan bahaya satwa liar di dalam bandara serta Pemda dan instansi terkait untuk penanggulangan bahaya satwa liar di sekitar kawasan bandara.\
Penulis : Minda Mora, S.T., M.T. ; Muhammad Rafiqi Sitompul, S.T., M.T. ; Dio Agro Nugroho, S.T., M.T.