Dampak negatif pandemi Covid-19 begitu terasa bagi perusahaan angkutan udara berjadwal dalam negeri, dimana tercatat sebanyak 40% armada pesawat udara telah berkurang dari kondisi pra-pandemi Covid-19. Banyak pesawat yang terpaksa diparkir dalam waktu yang lama dan belum dioperasikan kembali. Ditambah lagi dengan kondisi armada yang masih dalam proses maintenance dan pengembalian ke lessor mengakibatkan semakin berkurangnya jumlah armada yang tersedia. Saat ini, pergerakan transportasi udara sudah mulai mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan angka seat load factor (SLF) yang mengalami pemulihan sejak mencapai titik terendah pada tahun 2020.
Jumlah penumpang angkutan udara juga mulai tumbuh seiring dengan adanya pelonggaran syarat perjalanan udara di tengah pandemi Covid-19. Optimalisasi armada pesawat udara yang ada pada maskapai penerbangan perlu didukung dengan layanan operasional bandara terutama terkait fleksibilitas jam operasional bandara, navigasi udara, serta penyederhanaan proses perizinan rute, slot time dan flight plan yang lebih fleksibel dengan tetap memastikan keselamatan dan keamanan penerbangan.
KAPASITAS ANGKUTAN UDARA
Munculnya pandemi Covid-19 yang mulai menyebar di Indonesia pada tahun 2020, memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pembatasan dan larangan bepergian, sehingga terjadi efek yang signifikan terhadap penurunan penumpang angkutan udara sebesar 55% pada tahun 2020 dan berlanjut pada tahun 2021.
Terdapat sejumlah rute penerbangan yang menjadi rute pilihan dimana demand penumpang cukup besar. Rute-rute ini di antar alain adalah Ujung Pandang-Cengkareng, Cengkareng-Surabaya, Surabaya-Denpasar, Palembang-Cengkareng, Batam-Cengkareng, Semarang-Cengkareng, dan Yogyakarta-Cengkareng. Melalui pengolahan data yang ada, terlihat bahwa terdapat distribusi frekuensi penerbangan yang tidak merata antara beberapa rute dengan rute lainnya yang memiliki demand cukup besar.
Pandemi Covid-19 membuat banyak perusahaan angkutan udara yang tidak mengoperasikan pesawat udara yang telah teregister di Direktorat Jenderal Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara. Pesawat udara tersebut ada yang dalam proses maintenance, grounded, sudah dikembalikan dan atau dalam proses pengembalian ke lessor. Belum lagi harga avtur yang melambung tinggi dan berimbas secara langsung kepada beban operasional maskapai, hal ini membuat tarif menjadi meningkat namun tetap berada di bawah taris batas atas (TBA).
KETERSEDIAAN ARMADA PESAWAT UDARA MELALUI OPTIMALISASI
Badan Kebijakan Transportasi melalui Pusat Kebijakan Prasarana Transportasi dan Integrasi Moda melakukan analisis terkait pemenuhan kebutuhan Armada Pesawat Udara Pasca Pandemi Covid – 19 untuk memberikan rekomendasi terkait pemenuhan jumlah armada pesawat udara dengan permintaan layanan yang mulai meningkat kembali. Data sepanjang tahun 2017 s.d 2022 menunjukkan penurunan jumlah armada yang dimiliki dan disewa oleh perusahaan angkutan udara niaga berjadwal (AOC 121). Data yang didapat oleh Civil Aircraft Register dari Direktorat Jenderal Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara terjadi tren pertumbuhan armada pesawat udara teregistrasi dari tahun 2017 sampai 2021. Namun kemudian terjadi penurunan yang relatif signifikan pada Januari s.d Mei 2022 dimana terdapat 559 pesawat udara dengan 18 perusahaan angkutan udara berjadwal yang teregistrasi, namun hanya 311 pesawat udara dengan 10 perusahaan angkutan udara yang beroperasi. Perusahaan angkutan udara banyak menggunakan armada dengan type pesawat B737 series (40%) dan A320 series (29%). Maskapai penerbangan yang masih beroperasi berupaya untuk memenuhi permintaan angkutan udara dengan berbagai alternatif kebijakan antara lain :
HASIL DAN REKOMENDASI